Flash back beberapa tahun yang lalu pas Yogya diberi cobaan berupa gempa bumi yang nenewaskan lebih dr 6000 orang.. Saat ini saya termasuk salah satu orang yang panik.. Egois juga karena lebih mementingkan keselamatan diri sendiri dengan melarikan diri ke kota Lamongan.. 

Lepas dr Gempa, dan pindah kosan.. Kosan yang baru ternyata rawan banjir lokal kalau hujan besar.. Rasanya orang yang tertimpa musibah banjir pun sudah saya kecap.. Tapi untungnya banjir ini segera surut begitu hujan berhenti.. Mungkin banjir lokal ini karena sistem drainage di kompleks kosan saya tidak bagus, dan apesnya kosan saya terletak lebih dibawah dibanding rumah2 yang lain.. Jadilah banjir lokal.. hehehe..

Skrng Yogyaku ini tertimpa musibah lagi.. Gunung Merapi meletus, dan letusannya adalah letusan yang terbesar sejak 100tahun yang lalu.. Entah kenapa kali ini saya tidak panik.. Bingung juga kenapa bisa ga panik gini.. Hehehehe.. Walaupun banyak berita yang aneh2, dan banyak diantaranya yang hoax, alhamdulillah sampe skrng belum termakan isu tersebut.. Bukannya berniat meremehkan letusan merapi, tapi memang di tempat saya insyaallah masih aman (jarak kurang lebih 35km dr merapi).. 

Sempat terbesit untuk ikut bergabung dengan tim relawan, tp membayangkan debu vulkanik diluar yang menari-nari dengan indah, membuat sesak saya kambuh.. Hukz.. maap yogyaku.. skrng saya memang tidak meninggalkanmu tapi saya masih belum bisa membantumu secara langsung.. 

I'll always pray the best for my Yogya..

:)

Bwt ngelakuin frenektomi itu kita harus nyari orang yang frenulumnya tinggi dan mau di operasi. Kalo dari akal sehat, mau darimana coba nyari pasien yg punya kelainan frenulum itu?? Truz ujug2 ditawarin operasi.. hadeuuh.. ini adalah contoh pasien yg bisa di frenektomi.. 


Udah gt.. pasien udah ada, duit udah siap (soalnya biasanya coas yg bayarin pasiennya), ngatur jadwal dosen sama jadwal pasien itu amit2 susahnya.. ahh klo dibahas ga enaknya ga akan ada habisnya.. tp ga tau kenapa saya suka situasi itu.. adrenalin saya benar2 bekerja.. hehehe.. 

Si dokter spesialis anak, khususnya yg mendalami kanker darah itu berulang-ulang kali menyebutkan: "emang kalian ga diajarin?", atau "emang kalian ga pernah pegang pasien ko disini cuma sebentar? nanti gimana kompetensinya".. lalu belum sempat kami jawab, beliau sudah menimpali dengan kata-kata (yg menurut saya dan teman2) itu adalah hinaan.. Sumpah asli saya langsung TIDAK AMAT RESPECT (eh kebalik, maksudnya amat tidak respect, hehehe) dengan orang yg sudah memiliki banyak gelar tetapi mulutnya justru kayak orang ga pernah sekolah. Ibu dokter yg hebat, ga usah ngomong lah klo ga tau situasi dan requirement kami di KG tu kayak apa.. 
:(


Sampai akhirnya saya skrng udah ga perduli mereka (dokter2 atau calon dokter yang menghina kami) mau ngomong apa.. 
Apa mereka yg menghina kami itu tidak sadar kalau sebenarnya kesehatan itu akan lebih dahsyat jika kita bisa berkolaborasi.. Sekarang bagaimana kita bisa berkolaborasi klo dalam pikirannya saja sudah terpasang TEMBOK tebal dimana salah satu pihak merasa paling hebat.. 


Padahal.. banyak juga dokter umum yg salah diagnosis.. kenapa selalu merasa hebat si??  kalian juga manusia.. Dokter-dokter hebat yg saya kenal biasanya justru bisa melihat suatu penyakit secara holistik, dimana sering pula ada keterlibatan unsur rongga mulutnya..


Saya pernah ditanya oleh salah satu coas dr KU, kenapa si banyak dokter gigi yang minta ijin bwt nyabutin pasiennya?? bolak-balik minta ijin mulu.. GLEK!! No comment lah.. yg ngerti ilmu penyakit dalam seharusnya tau apa hubungan antara hipertensi dengan pencabutan gigi.. :D


Saya punya penyakit asma, jadi saya beberapa kali berobat ke dokter. Seringnya si langsung ke penyakit dalam.. Dan saya tahu ilmu mereka itu sulit.. saya dan kawan2 saja belajar tentang rongga mulut dan isinya butuh waktu 6 tahun lebih.. Sedangkan mereka harus mempelajari dari ujung kaki sampai ujung rambut (baik keadaan normal dan abnormal) dalam waktu 5 tahun.. Pasti pusing lah ya.. 


But why we can't respect each other??  Dengan sedikit menurunkan ego masing-masing, saya yakin suatu saat akan ada kolaborasi hebat antara dokter umum dan dokter gigi sehingga nanti kesehatan seorang pasien jauh lebih baik..

Beberapa waktu yang lalu pada saat stase di salah satu rumah sakit di daerah Yogyakarta, saya mendapat tugas untuk memeriksa keadaan rongga mulut dan manifestasi penyakit yang di deritanya. Penyakit yang diderita pasien yang saya periksa tidak lain dan tidak bukan adalah HIV. Salah satu hal yang dapat saya ambil hikmahnya dari kejadian ini adalah saya, dan mungkin rekan-rekan sejawat, sangat amat perlu meningkatkan kewaspadaan akan penyakit ini dan peningkatan kontrol infeksi pada tempat praktek atau klinik. Pada pasien HIV ini, bisa dikatakan tidak ada manifestasi oral yang signifikan yang dapat menjadi petunjuk seorang dokter gigi (silahkan baca laporan kami mengenai manifestasi oral pada pasien yang diperiksa ini). Dan setelah berdiskusi dengan pembimbing kami (yg notaben nya adalah dokter spesialis penyakit dalam), ternyata penyakit HIV tidak bisa dicurigai melalui pemeriksaan tes darah rutin. Angka leukosit pada penderita HIV dapat menunjukkan angka yang normal. ooohh my God!! 

Dan terus terang saja, wajah pada pasien ini tidak menunjukkan wajah2 "pria nakal". Tidak ada tato pada tubuhnya. Dan yang paling mengagetkan adalah status sosialnya yang cukup baik, yaitu pekerjaannya sebagai perangkat desa. 

Lalu apa yang bisa menjadi petunjuk seorang dokter gigi untuk mencurigai seseorang dengan HIV atau penyakit infektif lainnya?? 

Kalau dari sisi saya pribadi, lebih baik kita menggunakan prinsip kontrol infeksi yang baik, dimana semua pasien diperlakukan sebagai pasien yang memiliki penyakit infeksi. Lalu jangan lupa untuk lebih memperhatikan anamnesis yang dilakukan. Jangan hanya seputar penyakit yang dikeluhkan, cobalah untuk lebih menggali riwayat sosialnya, ada tidaknya penurunan berat badan yang drastis dalam waktu cepat, lebih memperhatikan ada tidaknya anemia pada pasien, dan jika ada bantuan dana berlebih tidak ada salahnya untuk menskrining pasien HIV dengan salah satu Rapid Test untuk mendeteksi antibodi HIV tipe 1 dan 2. Alat ini hanya di swab kan pada celah antara gusi dan gigi untuk mendapatkan crevicular fluid pada sulkus gingiva. Dan dalam 20-40 menit, hasilnya sudah dapat diketahui.. 

Tahun ini bentar lagi saya sudah 24 tahun.. Kenapa ada tradisi klo wanita belum menikah di umur 25 tahun menjadi hal yang tabu.. Orang tua sudah mulai khawatir dan mulai bertindak untuk mencarikan pasangan hidup untuk anaknya. Orang-orang pun sudah mulai mempergunjingkan (klo yg ini mungkin jika belum nikah2 hingga umur 30 tahun). Dan sayangnya saya pun terpengaruh akan hal itu :D

Dari judulnya mungkin ini terlalu menyudutkan seluruh Puskesmas yang sudah ISO.. Tapi saya tegaskan dahulu bahwa tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk menjelekkan Puskesmas tertentu dan saya pun yakin tidak semua Puskesmas yang ISO itu jelek..

Setelah menjalani beberapa minggu di Puskesmas dan mengikuti diskusi kelompok mengenai Puskesmas yang lain, banyak hal teknis dan non teknis yang tidak, bahkan sangat tidak sesuai dengan Protap (Prosedur Tetap). Salah satu hal yang benar-benar saya saksikan dengan mata kepala sendiri adalah bahan tambal yang sudah expired dan masih digunakan.. Astaghfirullah.. Waktu itu saya disuruh nambal oleh drg yg di Puskesmas, ketika saya masukkan bahan tambalannya dan menunggu bahan itu keras, saya merasa aneh karena sudah beberapa menit bahan itu tidak mengeras sama sekali.. Kecurigaan pun mulai memasuki pikiran ini.. Beberapa saat kemudian, teman saya datang membawa liquid bahan tambalan tersebut. Dan ternyata.... liquid bahan tambahan itu sudah expired sejak tahun 2009. Sudah 1 tahun melampaui tanggal expirednya. Ini pasien mau mangap sampe 1 bulan juga ga akan mengeras bahan itu.. Hikz.. Sejak saat itu saya cenderung menghindar jika ada kasus tambal di Puskesmas itu.. Satu sisi saya ga tega sama pasien jika saya yg harus mengaplikasikan bahan itu dan satu sisi lagi saya di Puskesmas hanya menumpang untuk belajar tentang manajemennya. Tampaknya terlalu sensitif jika saya berbicara ttg bahan yang sudah expired. Naasnya lagi adalah, mereka (bagian poli gigi) itu memiliki Tabel tentang bahan-bahan yang hampir expired dan yang sudah expired. Sayangnya tabel itu cuma sekedar jadi pajangan..


Paparan diatas hanya 1 kasus kecil ditengah kejanggalan-kejanggalan yang saya temui.. Hmmm.. 1 paparan kejanggalan lagi mungkin belum membuat anda bosan.. Oke lah.. Lanjuuuuut... 


Seperti kita tahu (bagi yang belum tahu silahkan lanjut baca), obat-obatan untuk Puskesmas itu GRATIS (saya tidak tahu bagaimana kebijakan daerah lain, tapi ini yang saya ketahui di Puskesmas tempat saya "transit"). Jadi setiap bulannya Puskesmas dapat droping obat dari Dinkes. Anehnya adalah Puskesmas itu membuka jam pelayanan sore dimana harga pada saat pelayanan sore merupakan harga swasta. Jadi harga pada saat pelayanan sore jauh lebih mahal dibandingkan pelayanan pagi. Pada saat pelayanan pagi, harga yang berlaku adalah harga sesuai Perda.
Yang membuat saya aneh adalah obat yang dipakai pada saat praktek sore merupakan obat dropping dr dinkes untuk pelayanan pagi. Padahal pelayanan sore menetapkan tarif swasta. Bukan kah seharusnya obat yang digunakan juga obat yang dibeli sendiri oleh pihak Puskesmas dan pengelolaannya berbeda? Apakah ini? Mungkin seharusnya ini menjadi penemuan Mega Mayor (ini kalimat saya kutip dari dosen pembimbing dispok kami) hehehe...


Jadi, setelah ditelaah.. Apa si pentingnya ISO itu? Mungkin ujung-ujungnya adalah kepentingan politik penguasa daerah tersebut. Ini lah salah satu hal mengapa saya sangat membenci orang-orang politik di Indonesia. Mengapa faktor kesehatan pun menjadi permainan mereka? Apa mereka (orang-orang politik) itu tidak takut dengan dosa?


Mungkin, jika suatu saat saya menjadi kepala Puskesmas dan pejabat di daerah tersebut meminta Puskesmas saya untuk menjadi ISO, dengan kepala tegak dan menengadah saya akan langsung menolak. Biaya yang digunakan untuk ISO itu bisa dibilang mahal. Mengapa uang yang berpuluh-puluh juta itu tidak digunakan saja untuk perbaikan puskesmas, misalnya melengkapi peralatan di laboratorium atau justru untuk membeli bahan-bahan yang lebih bagus (dan tidak expired tentunya).


Sekian.
Salam hangat -asihpuspahati-